Erving Goffman mengungkapakan teori
tentang kehidupan seseorang yang disebut sebagai Dramaturgi. Menurut Erving
Goffman, kehidupan sosial seperti
pertunjukan drama pentas atau film. Dalam hal ini gambaran dari peran seseorang
yang berinteraksi dan berhubungan dalam kenyataan sosial melalui jalan cerita
yang telah dibuat oleh orang yang menentukan jalan cerita pementasan drama
tersebut atau di dalam film. Jadi, kehidupan sosial digambarkan seperti
panggung sandiwara. Individu menampilkan suatu pertunjukan kepada orang lain
dan kesan yang dihasilkan adalah berbeda-beda. Jadi, ketika orang sedang
memainkan peran sebagai orang lain dalam pentas drama belum tentu kehidupan
nyata yang Ia alami sama dengan cerita yang dibuat dalam pementasan drama
tersebut. Karena yang mengetahui sifat dan kehidupan seseorang adalah diri
sendiri.
Menurut Goffman, teori dramaturgi
ini dibedakan menjadi dua bagian. Bagian pertama yaitu panggung depan (front stage). Yang dimaksud gengan
panggung depan yaitu seseorang memainkan peran yang bukan asli di hadapan
seseorang. Misal di dalam film To The
Beautiful You (Korean Film) Gadis yang bernama Go Jae Hee rela masuk ke
sekolah dan asrama khusus laki-laki hanya untuk membantu Kim Tae Joon untuk
bangkit dari keterpurukan penyakitnya dan mau untuk menjadi atlet lompat tinggi
lagi. Go Jae Hee berperan sebagai laki-laki pada umumnya, namun sebenarnya Ia
adalah perempuan. Panggung depan dibagi menjadi dua, yaitu front pribadi dan
setting front pribadi. Front pribadi mencakup bahasa verbal dan bahasa tubuh
pelaku. Misal pelaku berbicara sopan kepada orang tua, padahal yang sebenarnya
pelaku lebih suka berbicara keras dan pelaku juga pintar mengekspresikan
dirinya sesuai tempat dan lawan bicara pelaku. Sedangkan setting front pribadi
yaitu seperti peralatan yang dibawa oleh pelaku dalam pementasan tersebut.
Misal seorang arsitektur, ketika di kantor Ia mengenakan jas untuk bekerja
namun ketika sedang menjalankan proyek bangunan maka arsitek tersebut
mengenakan pakaian yang sesuai dengan tempat ia bekerja.
Kemudian Bagian Kedua yaitu back stage (panggung belakang).
Maksudnya yaitu yang dapat mengetahui kehidupan sosial sesungguhnya adalah
dirinya sendiri bukan orang lain. Jadi ketika orang bertanya kepada orang lain
bagaimana sifat pelaku yang sesungguhnya itu bisa jadi adalah front stage dari pelaku untuk mengetahui
dirinya melalui orang lain. Namun pada kenyataannya yang mengetahui sifat
seseorang adalah diri sendiri.
Fenomena Sosial
Contoh kasus adalah seorang
pengemis yang seringkali kita jumpai di belakang gerbang FIS UNNES yang
berpakaian lusuh selalu menampakkan wajah sedihnya ke setiap orang untuk
menerima rasa empati berupa materi. Tidak peduli kotor, bau, atau berpenampilan kumuh. Mereka
melakukan hal seperti itu sebagai aktor panggung depan karena sedang memainkan peran layaknya seorang
pengemis yang sesungguhnya demi mendapatkan materi. Berbeda dengan
panggung belakangnya, para pengemis menjalani kehidupan seperti orang pada
umumnya ketika sedang berada dirumahnya.
Selebriti juga
merupakan salah satu contoh kasus yang berkaitan dengan Teori Dramaturgi, misalnya Ustadz Guntur Bumi. Ustadz Guntur Bumi mengalami kasus yang
besar, Ia terlibat dalam pengobatan alternatif yang membuat pasien mengeluarkan
banyak uang dan cara pengobatan kurang sesuai dengan syari’at Islam. Masalah
tersebut sangatlah serius dan membuat UGB beserta keluarganya terpukul. Karena
banyak pasien yang mengeluh dan meminta untuk ganti rugi ataupun meminta UGB
mengembalikan uang pengobatan. Namun sebagai selebriti sekaligus Ustadz, Ia
berusaha untuk menjaga penampilan dan syari’at ilsam dalam kehidupannya. Ia tak
ingin di depan masyarakat terlihat sebagai Ustadz yang sedang bermasalah. Dalam
menyikapi masalah ini UGB tetap memohon ampun kepada Allah dan meminta maaf
kepada pasien yang merasa dirugikan. Tujuan Ia menyikapi seperti itu karena UGB
ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa ia adalah Ustadz dan selebriti yang
memiliki karakter tersendiri.
Contoh lainnya,
yaitu seorang guru dan dosen. Pada saat di kelas, seorang guru dan dosen
berperan sebagai pengajar dan pendidik. Mereka memberi berbagai peraturan dan
tugas di kelas. Mereka
membuat kesepakatan dengan siswa tentang proses belajar/perkuliahan dan punishment
yang akan diberikan kepada siswa jika tidak sesuai dengan peraturan yang sudah
ditetapkan. Mereka melakukan tugas di kelas sesuai dengan peran
mereka sebagai pengajar. Namun di luar perannya tersebut, mereka berperilaku
seperti orang lain yang tidak memiliki peran sebagai pengajar. Misal seorang guru olahraga yang
terkenal tegas dan disiplin di sekolah dan disegani oleh peserta didiknya.
Namun ketika di luar sekolah guru olahraga tersebut menginginkan dekat dengan
siswa sebagai teman untuk lebih memahami siswa tersebut. Sehingga guru tersebut
mengetahui bagaimana harus bersikap dan memahami siswa dalam kelas maupun di
luar kelas. Karena mengerti kondisi siswa penting dalam keberlangsungan proses
belajar mengajar.
Analisa
Contoh-contoh Kasus
Contoh-contoh kasus di atas
berkaitan dengan teori dramaturgi yang dikemukak.n oleh Erving Goffman. Karena
dari setiap peran di atas memiliki dua karakteristik, yaitu front stage dan back stage. Dimana dalam contoh kasus tersebut menjelaskan
bagaimana kehidupan yang sesungguhnya dengan kehidupan yang tidak sebenarnya.
Pada saat didepan umum, audiens menunjukkan karakteristik
yang berbeda dengan karakteristik mereka saat berada di
belakang panggung atau di luar tempat di mana mereka menunjukkan karakteristik front stage tersebut.
Seorang
pengemis yang berada di gerbang belakang FIS UNNES yang selalu mengangkat
tangannya dengan harapan ada beberapa orang yang baik hati untuk memberikan
uang receh maupun kertas demi kelangsungan hidupnya. Setiap pengemis itu
beroperasi maka akan memasang wajah yang lusuh, kumal dan memelas agar
orang-orang yang melewati gerbang belakang FIS berbelas kasih kepadanya.
Padahal pengemis itu masih sanggup untuk berjalan dan mencari pekerjaan lain,
tetapi pengemis itu lebih suka menjadi seorang pengemis. Hal tersebut Bisa dikarenakan memang orang itu malas
bekerja atau orang itu sudah terlalu nyaman menjadi seorang pengemis karena pendapatan
seorang pengemis tidak menentu. Terkadang jauh lebih banyak dibanding hasil
dari seorang pengamen. Kita semua tidak tahu bagaimana kehidupan yang
sebenarnya, bagaimana seorang pengemis itu jika di rumah maupun di tempat lain.
Tetapi sudah banyak ditemukan fakta tentang pengemis yang berada di gerbang
belakang FIS merupakan orang yang masih mampu. Setelah mengemis ada yang pernah
melihat pengemis itu pulang dengan mengendarai motor maupun angkot. Sungguh
memprihatinkan, seorang yang masih mampu malah menjadi pengemis dengan terus
menerus dan di tempat yang sama. Dalam hal ini seorang pengemis sungguh pandai
menerapkan teori dramaturgi dalam kehidupannya. Akan tetapi pengemis tersebut
tidak menyadari bahwa ia sedang menerapkan teori dramaturgi dalam hidupnya.
Ketika kita memberikan materi kita kepada pengemis itu, maka sama saja kita
mendukung pekerjaan mereka sebagai pengemis. Alangkah lebih baik tidak memberi
ketika memang sudah mengetahui bahwa pengemis itu masih mampu untuk melakukan
pekerjaan lain. Dengan tidak memberikan materi maka kita sedikit menjelaskan
kepada pengemis tersebut bahwa untuk tidak melakukan pekerjaan demikian dan
agar pengemis berpikir untuk berhenti dalam pekerjaan tersebut karena tidak
memiliki penghasilan dan berusaha mencari pekerjaan yang lebih baik. Sesungguhnya
tangan di atas lebih baik daripada tangan yang selalu di bawah.
Kasus
yang dialami oleh Ustadz Guntur Bumi sungguh memprihatinkan dan tidak adanya
kejelasan. Karena kasus tersebut belum terselesaikan namun berita tentang kasus
tersebut lambat laun semakin menghilang dan terdapat berita baru tentang
selebriti yang lain. Dalam berita UGB dituduh sebagai Ustadz yang melakukan penipuan
dengan cara pengobatan alternatif dan dianggap “melenceng” dari syariat islam.
UGB mencoba menjelaskan kepada pasien, namun tak ada yang percaya. Tak ada yang
tahu kebenaran dari kasus tersebut kecuali Sang Pencipta dan UGB sendiri.
Karena yang mampu mengetahui back stage
dari UGB hanya dirinya sendiri. Ketika berita tersebut masih sangat hangat, UGB
dan keluarganya susah untuk ditemui. Dan sekali bisa ditemui UGB memperlihatkan
karakter yang seperti tidak memiliki masalah. Di depan camera UGB terlihat santai dan tidak bersalah. Namun beberapa hari
kemudian ketika ditemui oleh media massa, UGB terlihat sedih dan bingung. Ia
menangis dan memohon ampun kepada Sang Pencipta serta meminta maaf kepada
pasien yang merasa dirugikan. Di dalam berita tidak disebutkan apakah UGB
mengganti rugi uang pasien ataukah tidak. Sesungguhnya yang mengetahui
kebenarannya adalah UGB dan Sang Pencipta. Namun disini UGB juga mengalami
kebingungan, apakah Ia terjebak dalam ajaran sesat pengobatan alternatif yang
berkedok seorang ustadz ataukah memang pasien tersebut yang melebih-lebihkan
cerita tentang dirinya dan pengobatannya.
Kemudian kasus yang
ketiga yaitu guru dan dosen. Setiap manusia memainkan peran-peran tertentu
dalam kehidupannya. Banyak guru dan dosen yang bersandiwara demi kebaikan
bersama. Contohnya, seorang anak tidak akan memanggil ayahnya dengan “Ayah”,
“Abi”, atau “Papi” ketika ia sedang mengikuti perkuliahan di mana sang ayah
berperan sebagai dosen. Sebaliknya, sang ayah juga tidak akan memanggilnya
dengan “nak”, atau “Sayang”. Namun keadaan otu akan berbeda ketika keduanya
berada di rumah atau di luar kampus. Keduanya dapat saling memanggil nama
kesayangan mereka. Sandiwara yang dilakukan ayah dan anak ini adalah demi
kebaikan mereka dan peserta perkuliahan lainnya. Agar tidak menimbulkan
kecemburuan sosial dan apabila nanti berkaitan dengan nilai tidak dianggap pilih
kasih. Hal tersebut juga dapat memicu semangat sang anak agar lebih giat
belajar untuk meraih prestasi dengan usahanya sendiri. Dengan begitu tidak akan
muncul pemikiran dari mahasiswa tentang diskriminasi. Karena anak dan ayah
dalam kasus tersebut bisa profesional dalam pekerjaan dan sekolahnya. Bagaimana
ketika sedang berada di dalam kelas yang sama maupun di kampus. Dan bagaimana
seorang dosen bersikap ketika mahasiswa melakukan kesalahan. Jadi antara
anaknya sendiri dan mahasiswa lain tidak dibeda-bedakan, karena ketika di
kampus mereka sama-sama memiliki peran sebagai mahasiswa yang sedang mengemban
ilmu demi bekal masa depan.
No comments:
Post a Comment